Menulis Cerita, Butuh Kesabaran

Pekan lalu, ketika saya sedang memberi makan ikan-ikan di empang, saya teringat kata-kata seorang penulis buku pembimbingan menulis. Intinya kira-kira begini:  Kalau kita melakukan sesuatu dengan tekun, telaten dan terus-menerus pasti akan membuahkan hasil yang sempurna.

Menulis butuh kesabaran. Butuh waktu latihan mencurahkan ide dan pikiran ke atas kertas. Berkali-kali merumuskan kata merangkai kalimat. Demikian juga untuk mendapatkan ikan-ikan yang gemuk  ia harus diberi makan setiap hari bahkan setiap jam dengan makanan pilihan, menjaga air agar tetap steril. Semua perlu kita lakukan kalau kita ingin usaha kita membuahkan hasil.

Akan tetapi meski panduan cara menulis yang baik sudah ratusan kali ditulis orang, masih sedikit dari kita yang mau melakukannya. Apalagi dengan tekun dan telaten. Merawat kesinamnbungan semangat menulis memang berat. Ia membutuhkan sesuatu yang sebenarnya  sudah tertanam lama dalam kesadaran setiap manusia: bakat dan kemauan keras untuk menjadi penulis yang baik.

Ketika sedang membaca sebuah novel kadang saya  berpikir  alangkah cerdasnya si pengarang  menyusun plot cerita sehingga kita larut dalam cerita yang dibuatnya.  Itu pula yang saya rasakan ketika  membaca salah satu novel Mario Vargas Llosa : Quien Mato a Palomino Molero? (Siapa Pembunuh Palomino Molero?

Syahdan tersebutlah dua petugas kepolisian di Talara bernama Letnan Silva dan Lituma yang menyelidiki kematian seorang penerbang muda. Palomino Molero namanya. Sebuah proses kematian yang sangat mengenaskan. Pemuda itu kedapatan mati tergantung pada sebatang pohon dekat hutan. Puluhan burung gagak  nyaris mencabik-cabik tubuh pemuda itu sebelum ditemukan oleh seorang bocah lelaki dan melaporkannya  kepada Silva dan Lituma.

Dengan itu Silva dan juga Lituma memulai penyelidikannya.  Meski menurut saya, alur penyelidikan yang dilakukan sangat panjang,  berbelit dan berputar-putar sehingga hasilnya juga tak kunjung jelas tapi semua proses yang dilakukan dengan mengasyikkan, agak konyol dan absurd.

Yang menarik bagi saya bukanlah proses penyelidikan atas kematian Palomino itu yang menurut kebanyakan pembaca pasti melibatkan seorang perwira  berpangkat kolonel di Angkatan Udara. Lelaki yang tak lain adalah ayah kekasih  pemuda yang tewas itu . Yang justru memantik rasa penasaran saya adalah tingkah laku Lituma. Suasana batinnya sepanjang novel ini serta pandangan-pandangan hidupnya yang kadang-kadang terasa aneh dan konyol bagi pembaca.

Salah satu adegan yang paling melekat dalam benak saya ketika Silva si atasan dan Lituma si bawahan sedang mengintip Dona Adriana mandi di laut. Dona Adriana adalah perempuan gemuk yang sudah bersuami. Bagi Lituma Dona adalah perempuan yang memuakkan. Parasnya tidak elok, ditambah postur tubuhnya yang tidak proporsional. Tapi tidak bagi Letnan Silva. Menurutnya perempuan itu adalah bidadarinya. Impian dan fantasi-fantasi berahinya selama ini.

 “Penglihatanku pasti kurang bagus” kata Lituma sambil terus mengamati Dona melalui teropong. “Atau imajinasiku yang kurang bagus Letnan”.

“Bangsat kau!” hardik Letnan Silva sambil merampas kembali teropongnya. “Aku sebaliknya, bisa melihatnya seperti ia sedang dipajang” Letnan Silva penuh rasa kagum pada tubuh perempuan yang mereka saksikan dari balik sebongkah batu itu.

Ketika Dona mulai membuka pakainnya lapis demi lapis selalu diikuti dengan gumam kekaguman oleh Letnan Silva.

“Jangan lihat sampai habis begitu” Letnan mengomelinya sambil merampas kembali teropongnya. “Sesungguhnya babak terbaiknya baru berlangsung sekarang, waktu ia masuk air, sebab anderok itu lengket ke badannya dan jadi transparan. Ini bukan pertunjukkan buat tamtama, Lituma. Cuma untuk Letnan dan para atasannya”

Kepandaian menyusun cerita merupakan hasil olah pengalaman selama puluhan tahun. Mario Vrgas Llosa adalah salah satu yang terbaik. Tak heran jika ia diganjar nobel sastra tahun 2010.

Saya kembali memandang ikan-ikan dalam empang. Empang yang saya buat sendiri dengan susah payah. Dan  saya membayangkan memanen ikan-ikan gemuk yang saya rawat selama beberapa waktu. Tanpa henti tanpa jeda sehari jua.

illustrasi : http://writetotheend.com

Tinggalkan komentar