Membaca Novel di Tempat Umum? Kenapa Tidak?

Sejak dulu saya punya kebiasaan membawa novel dalam tas kerja, juga menyelipkan notes kecil di saku belakang ke manapun saya pergi. Tiap kali saya berada dalam situasi yang membuat saya harus menunggu agak lama, seperti ketika berada di bank atau dalam perjalanan jauh dengan bis, atau kapal, saya akan membaca novel. Begitupun kalau saya teringat sesuatu, saya langsung mencatatnya dalam notes. Menunggu sesuatu sambil membaca novel sungguh mengasyikkan. Suatu hari, ketika saya sedang antri di bank, saya tidak dengar nama saya dipanggil berkali-kali oleh teller lantaran begitu khusuknya saya membaca. Novel yang saya  baca waktu itu, kalau tak salah, The Road karya Cormac Mc Carthy,

Begitupun ketika saya berada di kapal Super Jet (sejenis kapal cepat) dalam perjalanan Kendari-Bau bau. Di samping saya, duduk dua perempuan muda, mungkin mahasiswi. Seorang berambut pendek, sedang yang satu lagi rambutnya panjang berombak. Keduanya merasa aneh melihat saya terus membaca, padahal cuaca ketika itu kurang bersahabat. Ombak tinggi dan angin kencang membuat kapal fiber itu bergoncang keras. Saya pandangi wajah dua perempuan itu. Mereka tampaknya ketakutan. Saya hanya tersenyum lalu kembali membaca novel Prajurit Schweik-nya Jeroslav Hasek.

Tiba-tiba saya tertawa agak keras ketika sampai pada bagian, ketika Letnan Lukash mendamprat Schweik dalam kereta api saat mereka berangkat ke front pertempuran di Budejovice. Ketika itu, Schweik mengejek salah seorang penumpang, lelaki botak yang tengah membaca koran. Ia mengira lelaki itu seorang agen asuransi tapi ternyata ia  jenderal paling ditakuti, atasan mereka sendiri. Letnan Lukas dengan amarah yang begitu tinggi mengusir Schweik karena kelalaiannya ini.

Si rambut pendek menoleh menatap saya agak lama. Lalu ia menggumamkan sesuatu semacam gerundelan yang tak jelas. “Membaca novel dalam cuaca seperti ini? aneh ya?” katanya kepada temannya, si rambut panjang.

Saya diam memandang keduanya, sambil berpikir dalam hati “apanya yang aneh?” bukanlah setiap orang punya cara sendiri-sendiri untuk membunuh rasa jenuh selama perjalanan seperti itu? Lalu si rambut panjang dengan cukup atraktif berkata kepada saya kalau kakaknya juga seorang penulis yang hobinya membaca seperti saya. Sedangkan dia sendiri mengaku tidak begitu suka membaca novel. Ia lebih suka menonton sinetron atau berbelanja, jalan-jalan dan makan-makan. Khas muda-mudi zaman sekarang, pikir saya seraya melipat halaman buku, penanda batas yang saya baca.

Saya menyahut bahwa itu juga hobi yang bagus sepanjang kita mampu mewujudkannya. Sedangkan saya sendiri hanya suka membaca. Tapi saya tertegun ketika si rambut pendek berkata dengan nada bertanya

“Apa yang bapak dapatkan ketika selesai membaca novel?”

Saya berpikir agak lama sambil mengulang pertanyaannya dalam hati. Apa ya yang saya dapat?

“Tak ada, cuma senang saja di tambah adanya kepuasan” sahut saya pelan hampir dalam bisikan.

“Membaca cerita kok dibilang puas?” si rambut panjang menimpali.

Sungguh, saya tidak dikaruniai kefasihan berbicara dengan cara seperti ini, dalam keadaan ketika yang saya ajak bicara tidak mengerti sama sekali mengenai apa yang saya lakukan, apa yang saya baca dan apa yang saya rasakan. Bukankah cara mendapatkan kepuasan tidak sama bagi semua orang? Saya hanya berpikir, betapa berbeda-bedanya sifat manusia dan pikiran mereka dalam melihat setiap fenomena di dunia ini.

Dan saya tetap membaca di dalam perjalanan atau sewaktu menunggu antrian di bank dan kantor pos.

illustrasi : http://www.wallpaperscastle.com

Tinggalkan komentar